What is the Most Cruel Thing You’ve Ever Heard From Someone?

Rajwa Aqilah
4 min readMar 24, 2023

--

“What’s the most cruel thing you’ve ever heard from someone?”

Teras belakang villa tersebut lengang. Kesiur angin berembus halus menerbangkan satu-dua daun dari dahannya. Arak-arak awan di atas sana sedikit bergerak, perlahan menampakkan kembali rembulan yang sinarnya sempat remang sebab tertutup olehnya.

“Pantes gak ada yang betah sama kamu.”

Lima orang lain yang ikut duduk melingkar bersama mereka sontak mengalihkan pandang. Satu-dua mendecak, ada juga yang mengembuskan napas berat.

Kalimat pelan yang meluncur dari mulut mereka berdua merubah total atmosfer hangat pada malam itu.

“Har,” tegur Tasya menatap Hardin tak suka. Begitu pula dengan Andy, Juna, Nayla, dan Rissa sama-sama menghunuskan tatapan setajam belati yang menusuk dada Hardin.

“Itu udah lama. Santai.”

Celetukan ringan tersebut membuat mereka berlima refleks menoleh ke arah Soraya, seorang gadis yang baru saja membuat jantung mereka mencelos “Aku gapapa. Ayo lanjut game-nya,” sambung Soraya.

Mereka semua bergeming, masih merasa tak enak hati, atau sebenarnya diam-diam ingin menerjang Hardin dan melemparnya ke dalam kolam renang sekarang juga. Tapi Soraya tak peduli. Lagipula, yang ia katakan adalah benar. Kejadian itu sudah terjadi cukup lama, sekitar tiga bulan yang lalu. Gadis itu justru tersenyum kecil mengingatnya sekarang.

***

“Ya! Soraya!!”

Laki-laki bertubuh tinggi itu menahan pergelangan tangan Soraya setelah kakinya berhasil menyejajarkan langkah cepat gadis itu “Kamu gak mau balik ke sana dan bantuin Ira? Anak-anak yang lain semua bareng-bareng ngerjain sama dia.”

Soraya mendecak, menepis keras tangan laki-laki itu.

“Kenapa dibantuin sih?! Itu urusan dia. Salah sendiri kerjanya gak becus dari awal.”

“Iyaa tapi jangan dimarahin di depan semua orang juga, Ya. Dia – ”

“Bacot. Ngapain kamu di sini? Sana bantuin Ira juga.”

Laki-laki itu menghela napas berat ketika Soraya berbalik dan kembali menjauh. Ia menarik napas dalam, perlahan mengikuti gadis itu yang terus berjalan menuju area kantin, menyatu bersama lautan manusia yang ada di dalamnya. Seperti dugaannya, Soraya membeli sekotak susu cokelat dari vending machine kemudian mengambil tempat di paling pojok, jauh dari keramaian mahasiswa.

Soraya melirik pelan laki-laki itu yang mengambil tempat di depannya. Ia mendengus, meminum susu cokelatnya dalam diam.

Untuk beberapa saat keheningan melingkupi meja mereka. Beberapa saat hingga akhirnya gadis tersebut menggeram tak tahan.

“Har.”

“Hm?”

“Ira tuh … aku ngerti kegiatan dia ada banyak. Organisasi sama lomba. Tapi aku juga ada kegiatan di luar dan itu gak bikin otak aku jadi bego sampai gak bisa inisiatif nyelesaiin masalahku sendiri. Kita dikasih tugas riset ini udah lama, Har, dua minggu. Anggota kita juga ada banyak, enam orang. Tapi semuanya gak ada kendala sama sekali. Kenapa sekarang udah h-2 begini dia masih nanya-nanya tentang problem di bagian dia?? Ya mana aku tahu itu kan bagian dia.”

Soraya menggerutu, menggigit keras sedotan susunya.

“Kelompok kita jadi chaos, orang-orang dibikin susah buat bantuin nyelesaiin bagian dia padahal harusnya sekarang kita udah nyusun PPT presentasi. Jadi gak salah dong waktu aku suruh dia nyelesaiin sendiri bagiannya malam ini juga? Kita udah jalan sejauh ini. Ira sendiri jarang ikut rapat, kerjanya minta hasil notulen doang. Apa gak wajar kalau aku marah??”

Laki-laki itu, Hardin, tidak mengatakan apa-apa sepanjang Soraya menumpahkan emosinya. Ia hanya mendengarkan sampai gadis itu selesai dan sekotak susu cokelatnya telah tandas ia habiskan.

Hardin menarik napas.

“Kamu ketuanya, Ya. Dan untuk saat ini aku akan bilang kamu bukan ketua yang baik.”

Mata Soraya melebar.

“Ira emang salah, tapi kesalahannya gak sefatal itu sampai kamu bisa marahin dia di depan yang lain, di loby fakultas yang banyak orang lalu-lalang,” ucapnya “Ide utama riset kita dari Ira. Ira dan aku yang paling banyak bantu kamu brainstorming di awal kalau kamu lupa. Kesalahan dia tadi, Ya, kalau kita selesaiin bareng-bareng, jangankan malam nanti, jam lima sore juga pasti udah selesai.”

“Jadi maksudmu aku salah karena bertindak tegas? Salah karena negur dia??”

“Kamu bukan negur dia, kamu otoriter, kamu gak mau mikirin anggotamu sendiri. Kamu gak bijak karena ambil langkah yang salah alih-alih dengan kepala dingin harusnya kamu atasin chaos di kelompokmu dan ajak mereka semua nyelesaiin masalah yang ada, bareng-bareng,” Hardin menatap Soraya tajam, tersentil dengan kenyataan bahwa gadis itu masih juga tak sadar “Pantes gak ada yang betah sama kamu.”

Soraya tersentak.

Begitu pula Hardin, sang wakil ketua yang melebarkan matanya.

“S-sorry, m-maksud aku…”

Gadis itu pergi. Meninggalkan Hardin dengan tatapan yang membuat jantung laki-laki itu seperti diremas hingga hancur. Hardin dengan cepat mengejarnya, berdiri di depan gadis itu menahan langkahnya.

“Maaf, maafin aku, aku minta maaf,” ia menatap Soraya yang bergetar “Aku tarik semua ucapanku. Aku salah, aku yang kelewatan. Maaf, Soraya, maaf.”

Soraya, dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya, dengan luka dalam yang sudah menganga lebar, perlahan terisak.

Mereka menjadi tontonan banyak orang, tetapi Hardin tak juga menggeser langkahnya. Ia tetap berdiri di sana, terus memohon, mengatakan maaf hingga Soraya berhenti terisak. Bukan karena ia telah memaafkan Hardin, tetapi karena ia telah menerima fakta bahwa memang tidak pernah ada orang yang betah bersamanya.

--

--