Teleskop

Rajwa Aqilah
4 min readMar 16, 2023

--

cr: Pinterest

“Lio, wake up.”

Panggilan beserta tepukan pelan di bahunya membuat Lio mengerjap perlahan. Ia membuka matanya, mengulet sejenak merasa masih mengantuk. Tanpa Lio sadari sudah 15 menit ia ketiduran di sofa selagi menunggu Virgo asyik dengan teleskopnya.

“Kenapa? Marsnya udah muncul?” tanya Lio pelan menatap wajah Virgo yang antusias.

“Saturnus! I saw saturnus!

“Saturnus?!”

Virgo mengangguk semangat. Kantuk Lio seketika hilang entah kemana. Mereka bergegas keluar menuju teras tempat Virgo meletakkan teleskopnya. Udara malam yang dingin menusuk tulang menyambut Lio kala ia menginjakkan kaki di sana. Lio yang hanya memakai kaus lengan pendek seketika memeluk lengannya.

“Tadi sempet gue foto, takut lo gak bangun. Tapi kayaknya masih kelihatan sekarang,” Virgo berjongkok, mendekatkan matanya ke arah teleskop. Dua detik, ia berbalik sambil tersenyum “Masih ada. Sini.”

Mata Lio berbinar. Ia kemudian mendekatkan diri dan menutup mata kirinya. Gadis itu seketika terdiam, takjub pada potret planet saturnus yang saat ini ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Lio tak pernah menyangka akan bisa melihat planet dengan cincin cantik itu secara langsung, bukan lewat potongan foto atau video. Langit malam amat cerah membuat kenampakan kecil saturnus itu terlihat dengan jelas.

Lio menoleh ke arah Virgo “Keren banget, Go. Thanks udah bangunin gue,” ucapnya senang lalu kembali melihat teleskop “Nanti fotonya kirimin ke gue ya, mau gue lihatin ke Ayah, pasti dia kaget,” Lio terkekeh pelan membayangkan reaksi ayahnya kalau tau Lio bisa melihat saturnus dengan teleskop tua kesayangannya.

Sudah cukup puas mengagumi keindahan saturnus, Lio akhirnya berdiri. Pada saat itu Virgo melepas jaketnya, memakaikannya di bahu Lio. Lio sontak menoleh.

“Gue pake baju panjang,” ucap Virgo sebelum Lio bicara seolah ia tau apa yang akan gadis itu katakan “Sorry, baru sadar baju lo pendek.”

Lio mengulum bibirnya, tersenyum “Makasih,” ucapnya lalu memakai jaket itu dengan benar.

Mereka masih memainkan teleskop selama beberapa menit ke depan. Melihat bulan dan bintang yang jumlahnya tak terhitung di angkasa sana. Sebenarnya tanpa teleskop pun mereka sudah bisa melihat bulan dan bintang dengan jelas. Di desa ini tidak banyak lampu yang menyala saat malam. Bintang bisa bersinar lebih terang membuat langit tampak berkilauan. Andai pemandangan itu bisa Lio foto dan pamerkan kepada teman-temannya, mereka pasti akan berseru takjub. Sayangnya kamera Lio tidak secanggih itu sehingga bisa memotretnya dengan jelas. Ada beberapa pemandangan yang terlihat jauh lebih indah jika kau menyaksikannya secara langsung bukan?

“Kok bisa lo tahan di luar lama banget? Gue sebentar aja udah mau membeku,” ucap Lio menghampiri Virgo yang duduk di kursi teras.

Lio habis mengambil jaketnya sendiri. Ia mengembalikan jaket Virgo karena sepertinya laki-laki itu belum ada keinginan untuk masuk. Lio tidak mungkin membiarkan Virgo di luar sana tanpa pakaian hangat. Gadis itu duduk di kursi lain, menyerahkan jaket Virgo membuat laki-laki itu yang sedang melihat hp mendongak dan menerimanya.

“Tadi emang gak kerasa dingin,” Virgo mengedikkan bahunya “Tapi pas lo ngomong jadi kerasa sekarang,” ucapnya lantas mengenakan jaket.

“Lo terlalu fokus sama planet-planet kali,” sahut Lio “Seru kan? Yang kayak gini mana ada di Jakarta.”

Virgo mengangguk “Gue suka di sini. Damai, gak berisik, orang-orangnya ramah.”

Healing ya?”

“Hm.”

“Kakek orangnya mirip sama lo. Kakek suka tempat yang sepi begini, makanya Kakek bangun rumah yang agak berjarak dari tetangga lainnya. Tapi Nenek beda, Nenek gak suka kesepian. Katanya kalau terlalu lama di tempat sepi, hidup Nenek serasa kosong, bosan, pokoknya gak nyaman deh. Makanya awal-awal pindah ke sini Nenek gak betah, gabut terus bingung mau ngapain,” Lio bercerita “But they have each other dan mereka saling melengkapi. Walau suka kesepian, Kakek orangnya menyenangkan, dan dia selalu ngizinin Nenek tiap mau keluar ketemu temannya. Jadi sekarang mereka sama-sama nyaman di sini.”

“Ketebak sih Nenek mirip sama lo.”

Lio nyengir.

Their relationship feels unreal for me,” ucap Virgo memandang jauh ke langit malam “How can a married couple still love each other for over forty years?”

Maybe it’s true love.”

Virgo terkekeh. Lebih tepatnya tertawa mengejek “Lo percaya gituan?”

“Gak terlalu sih. Tapi relationship Kakek Nenek dan Ayah Ibu gue beneran menggambarkan true love. Karena kalau bukan, pasti gue udah punya ibu tiri sekarang.”

Virgo terdiam, mulutnya terasa dibungkam seketika. Ia kembali ingat pada Mama.

Yah, mungkin cinta sejati bukan hanya bualan fiksi yang dibuat manusia, tapi itu hanya berlaku untuk segelintir orang. Entah satu banding berapa. Sekalipun Virgo percaya bahwa cinta sejati itu nyata, hal itu tidak akan terjadi padanya. Orang sebaik Mama saja menderita karena seseorang yang ia cintai. Itu jelas bukan cinta sejati. Apalagi Virgo? Membayangkan ia jatuh cinta saja tidak pernah.

“Jangan bengong.”

Petikan jari Lio di depan wajahnya membuat Virgo mengerjap “Lo kalau bengong pasti mikirin hal-hal yang terlalu jauh deh,” ucap Lio tak suka “Kita ke sini buat happy happy, Go. Jangan sampek pikiran-pikiran itu ngerusak mood lo.”

Virgo hanya mendengarkan. Diam tak langsung membalas. Ia menatap mata Lio yang masih melihatnya. Mata itu terlihat memerah lelah.

“Sok tau,” Virgo menyentil dahi Lio.

“Ah! Apaan sih,” Lio memegang dahinya dengan kedua tangan. Ia maju, balas dendam menyentil dahi Virgo. Tapi tak terasa apa-apa bagi Virgo. Mereka kemudian tertawa. Tawa mereka terlepas renyah tanpa beban

Virgo tiba-tiba berdiri masih dengan sisa tawanya.

“Ayo masuk. Gue mau tidur.”

Lio menoleh, ikut berdiri “Padahal muka lo masih seger.”

Virgo tak menjawab. Ia mengunci pintu dan berbalik, tersenyum kecil melihat Lio menguap, lebih dulu masuk ke dalam kamarnya.

--

--