Setiap Orang Ada Masanya, Untukmu Aku Mau Selamanya

Rajwa Aqilah
4 min readMar 13, 2023

--

cr: Pinterest

Jendela besar apartemen itu membingkai merah mega yang mengambang bebas di langit lepas. Matahari di ufuk barat telah beranjak ke peraduannya. Untuk sesaat, dunia yang hingar bingar itu teredam oleh merah jingga langit senja yang tampak masygul.

Sedang di belakangku, mengalun lembut lagu Drunk by Keshi dari radio yang ada di atas meja makan.

“Ladin, Sayangku.”

“Iya, Sayang?” sosok yang sedang berdiri di depan kulkas hendak mengambil air minum itu menoleh ke arahku “Ada apa? Kamu tidak suka lagunya?”

Aku menggeleng.

“Aku suka semua lagu kesukaanmu. Tapi, Ladin,”

“Iya, Sayang, ada apa?” ia akhirnya menghampiriku, duduk di atas sofa di sebelahku, tak jadi mengambil minum.

“Bukankah langit di luar sana terlihat menyedihkan?”

“Lebih terlihat indah menurutku. Coba kamu lihat ke luar jendela, ada banyak orang yang berhenti untuk memotret langitnya.”

“Tidak, Ladin, coba perhatikan dengan teliti,” aku berdecak “Langit itu sedang sedih. Merah keoren-orenan yang tampak seperti darah itu sama sekali tidak indah.”

Ladin menatapku bingung. Mungkin dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa lagi wanitaku ini?

“Kupikir kamu suka senja, Sayang?”

Aku menggeleng. Aku tidak suka senja. Entah sejak kapan langit senja begitu mengusik ketenanganku. Aku tidak ingat ketakutan itu dimulai sejak kapan. Yang aku tahu, semuanya baik-baik saja, setidaknya sampai saat ini.

Lagu tadi telah habis, kini digantikan oleh suara lembut vokalis Jannabi yang menyanyikan lagu She.

Ladin tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangannya.

“You wanna dance?”

Aku menatap tangan itu, kemudian menatap matanya. Untuk sesaat aku diam. Mata cokelat Ladin yang sebening kristal tampak tegas sekaligus hangat merengkuh netraku dalam. Seutas senyum terukir di wajahnya, sedang poninya yang mulai panjang itu terjatuh hampir menyentuh matanya.

Dengan ragu aku terima uluran tangan itu. Ladin menarikku berdiri. Perlahan ia lingkarkan tangannya di pinggangku agar aku mendekat.

“You know I can’t dance.”

“Kata siapa?” ia menuntun tanganku agar berada di bahu kanannya “Kita selalu melakukannya saat kamu sedih.”

Mata kami bertemu.

“Ikuti saja aku … satu, dua.”

Matahari sudah beranjak semakin jauh ditelan gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Langit merah keoren-orenan itu kini berubah menjadi ungu dan biru gelap. Apartemen tempat kami berada kian temaram. Dari luar, tampak siluet kami yang berputar pelan, menari lembut mengikuti irama lagu.

Siluet itu tampak biru dan sendu, serta aku tak tahu harus berbuat apa pada kenyataan itu.

Ladin, begitu aku memanggil sosok yang sedang menatap mataku lekat dengan tubuh dan tangan yang terus bergerak berusaha memunculkan lekuk senyum di bibirku. Laki-laki yang pada mataku terlihat seperti Aladdin sebab ia selalu bisa mengabulkan permintaanku.

Bukan cuma tiga, tapi semua.

Langkah kami perlahan semakin pelan, dan musik telah berhenti berputar. Aku menunduk, menutup wajahku dengan kedua tangan.

“Yasmin, Sayang, ada apa?” Laki-laki itu panik, menunduk berusaha melihat wajahku “Kamu kenapa? Apa aku membuat kesalahan? Kamu bisa mengatakannya padaku.”

Aku menggeleng, sedang air mataku menetes kian deras membuat hidungku memerah dan napasku mulai sesak.

Bagaimana aku mengatakannya padamu di saat semua ini tidak abadi? Semuanya, Ladin. Cepat atau lambat kita tahu kita akan hilang dimakan waktu. Bumi terus berputar dan senja yang merah itu akan selalu datang menakut-nakutiku. Senja yang tidak semua orang sadari bahwa di dalamnya ia menyimpan memori yang paling dibenci semua orang.

Perpisahan.

Bagaimana jika suatu saat nanti semua ini berakhir? Bagaimana jika nanti aku tidak mencintaimu lagi, atau kamu tidak mencintaiku lagi?

“Hey, hey, gapapa,” ia menarikku ke dalam pelukannya “Aku di sini, kamu gapapa.”

Kamu tidak tahu seberapa takutnya aku pada hari itu. Hari dimana aku tidak lagi mencintaimu. Sebab aku pernah percaya. Aku pernah percaya pada kata selamanya sampai ia sendiri yang menyadarkanku bahwa selamanya hanyalah sesaat. Aku tidak bisa mencintaimu selamanya, akan ada masa dimana aku lelah atau bosan dan aku sangat takut membayangkan hari itu sungguh akan datang.

Saat hari itu tiba, apa yang harus aku lakukan? Aku cuma mau bersamanya, bersama seseorang yang selalu menghargai perasaanku, bersama Ladin yang membuatku kembali percaya bahwa di dunia yang sudah rusak ini, ketulusan masih ada dalam wujud manusia. Aku tau selamanya tidak pernah ada. Semua orang memiliki masanya masing-masing. Datang, pergi. Tapi untuk Ladin, aku mau hidup dengannya selamanya.

Ladin mengusap rambutku, mengecup keningku dengan harapan ia bisa menghapus kekhawatiranku.

“Jangan pergi…”

“Aku di sini, Yasmin. Aku tidak akan pergi. Kita tidak akan kemana-mana.”

Dan aku terus menangis di dadanya, jauh hingga larut malam, hanya untuk mengetahui bahwa dua bulan yang akan datang semua memang benar-benar berakhir. Kita tidak abadi, dan aku berhenti percaya pada diriku sendiri.

--

--