H-100

Rajwa Aqilah
6 min readMar 9, 2023

--

“Empat puluh tujuh … C?”

“D.”

“Kjnya apa?”

“D.”

“Ck,” Zara mendengus, mendorong bukunya menjauh “Tau ah, gue mau pulang!”

“Hee jangan!!” Aksa langsung menahan lengan Zara yang hendak melewatinya membuat gadis itu merengek kecil tak bisa melangkah “H-100 UTBK, Zar. Istirahat aja tuh minum milo yang dibikinin Mba Ina, nanti baru lanjut lagi,” ucapnya menarik lengan Zara agar kembali duduk.

Zara pasrah. Ia berjalan meraih segelas milo hangat di atas meja kemudian duduk lesehan, bersandar ke sofa ruang keluarga rumah Aksa. Si tuan rumah ikut meletakkan pensilnya kemudian meregangkan tubuh. Sendi-sendi Aksa terasa kaku setelah satu setengah jam hanya duduk mengerjakan soal.

“H-100 tapi sejarah gue masih kayak gitu,” Aksa menoleh, tersenyum kecil tahu Zara akan mulai mengoceh panjang “Mimpi gue ketinggian kayaknya, Sa, buat kuliah di sana.”

“Kagak elah, masih ada waktu buat perbaikin. Lagian sejarah kayak gitu gak terlalu kepake di akuntansi,” Aksa mengambil milo lalu duduk lesehan di hadapan Zara, dipisahkan meja rendah berbentuk oval tempat mereka mengerjakan soal tadi “Jangan dibawa stress, santuy.”

Zara menghela napas melihat wajah cengengesan Aksa. Cowok ini … walau sudah berteman sejak kelas 1 SMP, Zara masih suka dibuat bingung oleh Aksa. Kok bisa ya ada orang kayak dia? Aksa tuh santai anaknya. Telalu santai malah. Tapi dia selalu berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Misalnya waktu ada kerja kelompok, Aksa tuh langganan datang terlambat. Alasannya ada banyak, mulai dari disuruh Mama angkat jemuran, sampai nyariin kucingnya yang tiba-tiba hilang. Saat mengerjakan tugasnya pun Aksa gak bisa diam, dia bakal ngajak teman sekelompoknya ngobrol ngalor-ngidul sampai bercanda-canda. Kalau udah gitu biasanya teman sekelompok Aksa jadi terbawa suasana dan ngelupain masalah kerkom, terlalu asik ngobrol sambil makan camilan. Tapi kerjaan Aksa bisa selesai tepat waktu seolah bercanda sambil ngerjain tugas secara bersamaan adalah hal yang bisa dilakukan dengan mudah.

Lalu tadi juga. Selama mereka berdua mengerjakan 50 soal latihan sejarah, Aksa gak bisa diam. Nyanyi-nyanyi lah, isengin Zara lah, melamun dulu lah. Tapi setelah mengecek kunci jawaban sampai nomor 47, Aksa baru salah 6 sedangkan Zara 26. Gimana Zara gak heran? Padahal Aksa bukan anak yang super jenius, dia cuma banyak aja hoki-nya.

“Kalo ngerjain ekonomi kan kebalikannya, Zar. Elo yang pinter, guenya enggak. Biar fair lah kita ada porsinya masing-masing.”

“Ya, tapi emang sejarah tuh gak jelas. Ngapain amat gue peduli sama perang dunia 1? Lahir aja belom. Atau permasalahan complicated kerajaan Hindu-Budha-Islam. Itu terlalu ribet, anjir, mustahil gue bisa hafal semuanya,” gerutu Zara “Apa lagi kalau udah bawa peradaban kuno dunia, paling gak jelas.”

Aksa sontak tertawa. Hobi Zara selain nonton drakor ya marah-marah, jadi dia udah terbiasa sama Zara yang suka judes dan sedikit kasar kalau lagi kesal. Aksa gak ambil pusing, malah kadang jadi hiburan tersendiri bisa lihat ekspresi Zara yang biasanya datar jadi merenggut waktu kesal.

Sekarang pun sama, Aksa memilih mendengarkan keluh kesah Zara alih-alih menjahilinya seperti biasa. Laki-laki itu kembali meletakkan gelas milo di meja, menopang dagu menatap gadis dengan rambut sebahu di hadapannya yang kembali bicara.

“Mau kuliah aja harus berjuang segininya ya? Padahal di kampus nanti kita juga belajar kayak sekarang, gak yang party and happy everyday. Bisa gak sih langsung keterima aja gitu? Gue capek belajar. Belom uprak sama tugas banyak banget kayak air bah. Itu sekolah lama-lama gue bakar ya.”

Aksa terkekeh, menggeleng pelan “Heh, Zara. Dijalanin, dikerjain. Jangan dipikirin.”

“Gue punya otak, jadi banyak mikir. Orang yang hidupnya selalu santai dengan jalan mulus kayak lo gak akan ngerti apa yang gue rasain,” Zara ikut meletakkan milonya di atas meja “Gak perlu berusaha keras juga gue yakin lo bakal keterima,” sambungnya pelan.

“Gue selalu berusaha keras, Zar. Bedanya, gue tekun dan menikmati proses. Gak kayak lo yang segala sesuatu dipengaruhi mood, jadi bawaannya berat,” balas Aksa membuat Zara melotot.

“APA?!”

“Tapi tenang aja. Kita berdua pasti keterima.”

“Halah. Tau dari mana lo?”

“Tau lah, kan gue dapet spoiler.”

Kali ini Zara tak tahan untuk tidak menimpuk Aksa dengan bantal sofa. Aksa menangkap bantal tersebut, kemudian tertawa.

“Eh, omong-omong tentang kuliah, kita nanti gimana ya?”

“Apanya yang gimana?” balas Zara ketus, masih kesal.

“Nanti kita bakal ambil jalan masing-masing, kan. Kalau udah gitu nanti kita gak segampang ini buat ngerjain tugas bareng karena mata kuliahnya jelas beda. Akuntansi sama Hubungan Internasional beda jauh.”

“Ya terus? Lo mau satu kampus dan satu jurusan sama gue terus kita jadi sepuluh tahun bareng-bareng gitu?” Zara melotot, walau sebenarnya itu adalah cara ia untuk menutupi rasa gundah yang tiba-tiba singgah “Lama-lama gue kayak nyokap lo deh diikutin mulu dari SMP,” ucapnya bergidik.

Aksa tersenyum “Gue gak akan nyuruh lo tetep di sini kali. Cuma lagi bayangin aja nanti kalau semuanya udah berubah gimana,” ucapnya tenang “Jauh banget jaraknya. Bisa-bisa kita ketemu setahun cuma dua kali pas liburan, itu pun kalau lo pulang. Rasanya kayak baru kemaren gue lihat lo berangkat sekolah pakai rok biru sama sepatu hitam-pink. Sekarang lo udah segede ini, mau kuliah di luar kota pula. Itu keputusan yang hebat sih, lo berani tinggal sendiri di tempat baru. Gak semua orang punya keberanian itu.”

Wajah kaku Zara melunak. Ia tak bisa terus-terusan ber-acting tidak peduli dan menghindari percakapan ini. Zara tau, percakapan ini akan jadi panjang dan melelahkan, walau di satu sisi juga akan menenangkan. Deep talk. Walau sering bertengkar dan melakukan hal konyol bersama, sejak memasuki kelas 12 mereka beberapa kali melakukan pembicaraan berat yang membahas kehidupan dan masa depan. Awalnya Zara kaget, tak menyangka Aksa memiliki sisi serius dan emosional seperti ini. Zara tak tau di balik topeng cengengesan Aksa yang terkesan menggampangkan segala hal, laki-laki itu banyak berpikir di dalam kepalanya.

Kalau boleh Zara katakan, sebenarnya Aksa sempurna di matanya. Aksa memiliki semua yang Zara dambakan. Keluarga yang harmonis, nilai yang bagus, juga kemudahannya dalam menjalin pertemanan. Aksa memiliki banyak teman di sekolah, seolah ia adalah tokoh utama dalam setiap cerita fiksi remaja. Kalau sedang jalan melewati lapangan, seakan ada lampu sorot sendiri yang mengarah padanya. Semua orang menyukai Aksa. Biar begitu, tak pernah sekalipun Aksa meninggalkan Zara. Gadis dengan lingkup kehidupan yang kecil dan lebih sering menyendiri itu selalu jadi prioritas utama Aksa.

Karena itu, gue harus pergi.

“Nanti gimana ya kalau kita udah gak bareng lagi?” Aksa menopang dagu menerawang ke luar kaca jendela. Di sana, langit biru tanpa awan sejauh mata memandang “Lo pasti bakal kangen gue. Pasti! Hehehehe.”

Zara hampir menimpuk Aksa dengan gulungan tisu.

“Di Surabaya nanti lo makannya dijaga ya, jangan junk food mulu, jangan coba-coba minum kopi walau ada embel-embel hazelnut atau latte. Kalau bisa gak usah pulang malam kecuali rame-rame minimial berempat. Kalau capek sama tugas kuliah istirahat dulu ke kedai es krim atau toko buku. Jangan keras sama diri sendiri,” Aksa bicara panjang “Jangan gampang percaya sama orang. Jangan cari masalah sama kating. Kalau ikut acara organisasi yang nginep gitu hati-hati, jangan misah dari temen cewek lo, kalau malem tidur aja gak usah cari tau hal-hal yang seharusnya gak perlu lo tau.”

“Iya iyaaaa, semua yang lo omongin juga gue udah paham kali, gue bukan anak kecil,” seru Zara “Ck, gue mau ikutan nasehatin lo tapi bingung mau bilang apa.”

“Karena hidup gue udah bener, dan gue bisa jaga diri gue sendiri.”

Ya, mau kesal tapi dia benar sih.

“Karena nanti gak ada gue lo harus belajar jaga diri sendiri juga, Zar. Eh mau gak weekend besok gue ajarin berantem?”

Zara sontak tertawa “Nanti kalau kita yang berantem terus lo kalah gimana?”

Eits, gak mungkin. Kan selama ini gue cuma pura-pura kalah biar lo seneng.”

“Hah?!”

“Kaget? Ya kali, Zar, gue kalah dari elo.”

Zara mengulum bibir, merasa tenaga yang sudah ia keluarkan selama ini untuk gulat dengan Aksa sia-sia.

“Yuk lanjut, tinggal tiga soal lagi habis itu latihan sosio.”

“Ah …….. udah aja dong, gak sanggup gue.”

“Sanggup, Zara. Ayo, semangat,” Aksa mendekati Zara, mengulurkan kedua tangannya membuat Zara lagi-lagi pasrah, menggenggam tangan Aksa lalu berdiri kembali ke tempat duduknya bersama buku latihan sejarah yang tidak jelas itu.

--

--