Great Minds Think Alike

Rajwa Aqilah
5 min readMar 14, 2023

--

Kalian pernah tidak, punya teman atau kenal dengan seseorang yang isi kepalanya nyaris sama persis seperti kalian? Maksudnya, bukan dalam hal minat dan kesukaan, ya. Bukan seperti kalian sama-sama suka makan sate atau suka menonton bola. Ini lebih seperti kalian memiliki cara pandang dan cara berpikir yang sama. Dia adalah orang yang saat kalian ingin melakukan A, rupanya di detik yang sama ia sudah melakukannya lebih dulu. Dia juga orang yang saat menghadapi sebuah masalah akan langsung setuju dengan ide penyelesaian yang kalian ajukan. Karena, dia juga berpikir itulah solusi yang terbaik.

Bisa kalian bayangkan betapa menyenangkannya berteman dengan orang seperti itu? Kalian akan sangat jarang bertengkar karena kalian saling mengerti satu sama lain dengan sangat baik.

Kebetulan, Hanin memiliki cerita yang serupa. Ia memiliki satu orang teman yang persis seperti cerminan dirinya. Namanya Gilang, teman organisasinya di kampus.

Hanin sebagai tipe orang yang cenderung apatis dan tidak memperhatikan orang lain tidak pernah menyadari hal tersebut. Yang ia tahu, Gilang hanyalah salah satu temannya yang selalu ia temui pada Kamis malam untuk rapat organisasi selama dua bulan terakhir sejak pertama kali mereka diterima di sana. Hanin menyukai Gilang, as a friend, tentu saja. Sebab, berbeda dengannya, Gilang merupakan pribadi yang lebih ramah, lembut, dan menyenangkan bila diajak berdiskusi.

Hanin tidak pernah menyadarinya. Tidak sampai lama kelamaan mereka semakin dekat hingga pada titik dimana Hanin percaya untuk mengajak Gilang mengikuti lomba national business case bersama. And guess what? Mereka meraih juara pertama.

“Lang, makan dulu lah kita sebelum pulang. Harus dirayain nih!” ajak Hanin agak memajukan diri di atas motor hitam Gilang.

Sore itu, mereka baru saja pulang dari hotel tempat pengumuman lomba dan after party diadakan. Pesta perayaan dengan lampu disko dan musik dj yang menghentak itu baru berjalan sepuluh menit ketika akhirnya Hanin menyerah dan mengajak Gilang undur diri lebih dulu. Beruntung laki-laki itu mengiyakan. Katanya, ia sudah tidak betah mengenakan setelan jas hitam sejak siang.

“Mau makan apa? Bakso? Sate?” tanya laki-laki itu.

“Yang elite dong!”

Gilang sontak tertawa “Apa ya…” gumamnya berpikir “Bandung kebanyakan makanan enak nih. Aku bingung.”

Untuk sesaat motor itu melaju lengang membelah kota. Hingga akhirnya mereka berhenti di lampu merah dan Gilang menoleh ke belakang.

“Sushi.”

“Sushi!”

Mata cokelat Hanin melebar berbinar. Gilang terkekeh renyah, ia mengulurkan tangannya membuat Hanin ikut mengangkat tangan dan melakukan tos bersama.

“Gas!!”

Tempat sushi yang mereka tuju agak jauh dari lokasi mereka saat ini. Tapi tak apa, demi mendapatkan sushi paling enak di kota. Jarang-jarang anak kost seperti mereka bisa makan enak. Mumpung sedang dapat pemasukan lebih dari hasil lomba jadi harus dimanfaatkan untuk membahagiakan diri semaksimal mungkin.

Mereka tiba tepat ketika matahari terbenam. Hanin melompat turun dari motor Gilang dan melepas helmnya.

“Lang, kamu masuk duluan aja, aku mau ke sebelah dulu sebentar.”

“Ngapain?”

Hanin dengan cepat memutar otak “Ada … aku mau beli sesuatu, kebetulan pas di jalan tadi aku lihat ada yang jual di deket sana.”

Gilang mengangkat alisnya “Ooh, ya udah bareng aja, aku temani.”

Hanin menggeleng “Gak usahhh, deket kok tuh di situ doang,” ucap gadis itu cepat seraya membalik tubuh Gilang dan mendorongnya pelan “Kamu masuk aja terus pilih tempat sebelum nanti ramai. Ya? Oke? Dadah!”

Setelah memastikan Gilang benar-benar masuk ke dalam restoran, Hanin segera balik badan dan berlari pelan menuju sebuah kios kecil yang sempat ia lihat ketika mereka di perjalanan tadi. Kios kecil itu sepi, tidak ada pelanggan, membuat gadis itu tanpa berpikir lama-lama lagi segera membeli sebuah barang, lebih tepatnya sebuah hadiah yang ingin ia berikan kepada Gilang sebagai ucapan terima kasih.

Si bapak penjual membungkus pesanan Hanin dengan gesit, kemudian setelah membayar Hanin segera kembali ke restoran sushi sebelum laki-laki penasaran itu lebih dulu menyusul langkahnya.

Dan, betapa terkejutnya Hanin ketika ia tidak menemukan Gilang di dalam restoran.

“Dia kemana?”

Ting!

Sebuah notifikasi pesan muncul di ponsel Hanin ketika ia masih sibuk melongokkan kepala ke sana ke mari. Gadis itu segera merogoh ponselnya di dalam tas.

Gilang : di meja dekat jendela nomor dua dari kanan, Nin

Gilang : aku lagi ke belakang sebentar

Hanin mengembuskan napas lega. Kirain ada apa.

Langkah lembut gadis itu yang dibalut flatshoes abu-abu bergerak menuju meja yang telah disebutkan. Hanin meletakkan hadiahnya di atas meja, kemudian menunggu Gilang dengan tenang.

Cring!

“Selamat datang, Kak.”

Hanin mendongakkan kepala. Matanya sontak melebar melihat Gilang yang terengah-engah setengah berlari ke meja mereka.

Dan ada sebuket mawar putih tergenggam erat di tangannya.

Gilang agak menunduk berusaha menormalkan napasnya. Ketika ia kembali berdiri tegap, tubuhnya seketika tersentak melihat sebuket mawar merah di atas meja depan Hanin.

“…eh?”

“Lah?”

“Kamu … ngapain?”

Gilang meneguk ludah, agak kaku menyerahkan buket mawar putih yang dibungkus rapih dengan kertas berwarna hitam itu kepada Hanin “Hadiah, buat kamu.”

Hanin terngaga lebar.

“HEE??? Aku juga beli buat kamu!!”

Para pengunjung restoran di sekitar mereka kompak menolehkan kepala, tak terkecuali pelayan yang sedang mencatat pesanan. Satu dua dari mereka menutup mulutnya dengan gemas.

Sedetik kemudian, tawa Hanin dan Gilang lepas memecah keheningan yang mereka ciptakan.

“Wah …” Hanin menutup mulutnya, menerima buket bunga yang Gilang berikan “Lang, yang aku beli juga bungkusnya hitam!”

“Gila, Nin. Tahu gitu sekalian aja beli bareng tadi,” ucap Gilang masih tertawa tak percaya.

“Ya ampun. Ini tuh, jujur agak cringe sih. Tapi aku pengen ngasih bunga karena aku pikir bunga melambangkan ketulusan jadi aku harap bunga ini bisa ngasih tahu kamu kalau aku tulus berterima kasih atas bantuan dan kerja sama yang kamu kasih selama ini,” ujar Hanin seraya menyerahkan buket mawar merahnya kepada Gilang.

Sekarang, giliran Gilang yang terngaga.

“Di dalam buket itu ada kartu ucapannya. Coba kamu baca.”

Hanin meraih kartu ucapan kecil di tengah-tengah seikat mawar putih dalam genggamannya. Seutas senyum perlahan terukir di wajahnya. Iya, temannya itu menulis kata-katas yang sama seperti seperti yang barusan Hanin ucapkan.

Ah … benar. Kalau Hanin ingat-ingat, ada banyak sekali momen ketika mereka satu pemikiran seperti ini.

Saat mereka membahas ide business plan pertama kali, saat mereka berkonsultasi dengan dosen dan tidak sengaja mengajukan pertanyaan yang sama secara bersamaan, saat Hanin marah dan akan melakukan pekerjaan mereka sendiri tapi ternyata Gilang sudah menyelesaikannya lebih dulu, bahkan saat tadi di atas motor mereka memilih makan yang sama untuk dimakan sebagai wujud perayaan kemenangan.

“Aku curiga dulu otak kita diciptainnya barengan dan dengan cara yang sama,” ucap Hanin masih kagum.

Gilang nyengir lebar, mengangkat bahunya “Great minds think alike, Nin.

Hanin mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya.

“Yeah, great minds think alike.”

by the way, ini dia referensi utama dari cerita hari ini!

--

--